...

SEJARAH GEMPA DAN HIKMAH KEISTIMEWAAN BUMI YOGYAKARTA

22 09 2021 Lomba Kategori Umum Ribut Lupiyanto 0 Likes Bagikan :

Yogyakarta adalah daerah istimewa berdasarkan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Konteks keistimewaan sering dipahami terbatas pada aspek budaya. UU Keistimewaan sebenarnya juga mengakomodasi aspek kebumian. Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa Kewenangan DIY dalam urusan keistimewaan juga menyangkut pertanahan dan tata ruang yang sangat terkait dengan konservasi bumi.

Diskusi terkait kebumian tidak bisa dilepaskan dengan kebencanaan. Bencana menjadi salah satu dinamika yang menyertai eksistensi bumi. Yogyakarta sendiri memiliki 11 jenis potensi bencana yang sudah teridentifikasi berdasarkan sejarah kejadiannya. Kesepuluh otensi bencana tersebut antara lain banjir, epidemi dan wabah penyakit, gelombang ekstrim dan abrasi, gempa bumi, tsunami, gagal teknologi, kekeringan, letusan gunung berapi, angin kencang, tanah longsor, kebakaran, serta bencana sosial.

Sejarah Gempa

Salah satu bencana yang menghantui Yogyakarta adalah gempa bumi. Yogyakarta secara tektonik merupakan kawasan dengan tingkat aktivitas kegempaan cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan wilayah tersebut berdekatan dengan zona tumbukan lempeng di Samudera Indonesia. Di samping itu, Yogyakarta rawan gempa bumi akibat aktivitas sesar-sesar lokal di daratan. Kondisi tektonik semacam ini menjadikan Yogyakarta sebagai kawasan seismik aktif dan kompleks.

Rekaman sejarah kegempaan menunjukkan bahwa Yogyakarta telah 12 kali mengalami bencana gempa bumi merusak (Koenti, 2016). Data gempa pertama yang ditemukan terjadi pada 1840, disusul kemudian 1859, 1867, 1875, 1937, 1943, 1957, 1981, 1992, 2001, 2004, serta 2006. Diantara kejadian tersebut,  gempa dengan jumlah korban yang sangat besar terjadi pada tahun 1867 (5 tewas dan 327 rumah roboh), 1943 (250 orang tewas, 28 ribu rumah roboh) dan 2006 (6.234 orang tewas dan 390.077 lebih rumah roboh).

Gempa yang terjadi tanggal 10 Juni 1867 turut merusakkan bangunan kraton dan kantor pemerintah kolonial Hindia Belanda. S.W. Visser (1922 dalam Natawidjaja, 2016), seorang ahli geologi Belanda, sebagaimana dikutip dari tulisan Danny Hilman berjudul “Misteri Patahan Sumber Gempa Yogya 2006” (Majalah Geomagz, 2016: 25), memaparkan bahwa gempa besar berdurasi 70 detik pada tahun tersebut berpusat di dekat aliran Sungai Opak atau bersesuaian dengan sesar Opak, sama seperti sumber gempa Yogyakarta tahun 2006. Ki Sabdacarakatama dalam Sejarah Kraton Yogyakarta (2009) juga mengungkapkan, gempa bumi tahun 1867 mengakibatkan kerusakan terhadap sejumlah bangunan di kompleks istana, termasuk masjid besar kesultanan.

Yogyakarta yang lekat dengan predikat sebagai daerah rawan gempa tidak menggoyahkan peran strategisnya sebagai penyangga peradaban Jawa hingga Republik Indonesia. Bukti sejarah menunjukkan dengan adanya prasasti semegah Candi Prambanan, Candi Ratu Boko, dan rangkaian candi lainnya yang dibangun sejak masa Mataram Kuno pada abad ke-8 Masehi. Perjalanan Yogyakarta juga sering difungsikan sebagai pusat pemerintahan, dari zaman Mataram Kuno, Mataram Islam, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, bahkan pernah dijadikan ibukota Republik Indonesia.

Keistimewaan Bumi

Yogyakarta memiliki keistimewaan budaya yang menjadi kiblat tradisi Jawa. Selain itu, bumi Yogyakarta juga menyimpan segudang keistimewaan, bahkan dalam level dunia. Sebut misalnya Gunung Merapi, Kawasan Karst Gunungkidul, Gumuk Pasir di Pantai Selatan. Merapi adalah satu-satunya gunungapi jenis strato paling aktif di dunia. Fenomena awan panas atau dikenal dengan ’wedhus gembel’ juga tak ada duanya di dunia. Karst Gunungkidul dengan segala kekayaan dan karakteristik ekosistem didalamnya telah masuk salah satu warisan dunia. Gumuk pasir, khususnya tipe barchan juga hanya ada di Pantai Selatan Yogyakarta.

Sebelum ilmu pengetahuan modern menyingkap keistimewaan bumi Yogyakarta, budaya setempat telah mampu memahami dengan kerangka filosofis yang diyakininya. Sri Sultan Hamengku Buwono I telah meletakkan dasar filosofi dengan falsafah Hamemayu Hayunig Bawono. Ungkapan ini merupakan bentuk kearifan ekologis budaya Jawa dalam komitmennya melestarikan bumi dan lingkungan hidup. Hamemayu Hayuning Bawono diletakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai visi kehidupan masyarakat Jawa. Maknanya adalah komitmen untuk membuat bumi indah dan lestari (sustainable). Visi keharmonisan hidup dengan lingkungan selanjutnya terjabarkan dalam misi Hamengku Buwono, yang secara harfiah berarti memelihara bumi. Muara aplikatif dari nilai filosofis-kultural itu adalah terbentuknya sikap Satriya (Marwito, 2004). Sikap ini membawa perilaku penuh tanggung jawab, konsisten, amanah, dinamis, dan obsesif. 

Secara aplikatif, Kraton Yogyakarta juga dirancang dengan tata wilayah dan letak kraton mengikuti pedoman sumbu imajiner. Merapi-Tugu Golong Gilig-Kraton-Pangung Krapyak- Laut Selatan yang didesain berada pada pada satu garis lurus menjadi simbol harmonisnya budaya Jawa dengan lingkungannya.

D Kraton Yogyakarta banyak dijumpai pohon Beringin, Asem, Gayam, dan Tajung. Beringin dikenal sebagai penyerap Karbondioksida (CO2), produsen Oksigen (O2) serta penyaring udara efektif. Asem sebagai penyerap Timbal (Pb). Gayam dapat menyimpan air dan memelihara mata air. Sedangkan Tanjung mampu menyerap debu, selain memiliki nilai filosofis terbukti mampu berfungsi sebagai penghijauan yang ramah lingkungan.

Kearifan di atas merupakan modal kuat untuk mengkonservasi keistimewaan bumi Yogyakarta. Namun, tantangan besar telah menghadang. Arus budaya modern dan beragam tak terbendung masuk Yogyakarta. Kearifan yang ada dituntut untuk tetap eksis dan mampu berinteraksi dengan perkembangan zaman.

Melek Bencana dan Bumi

Bencana yang terus mengintai dapat menjadi ancaman jika sejarah tidak dipahami dan tidak ada antisipasi. Bumi Yogyakarta juga tidak akan lagi istimewa jika karakteristik khasnya hilang. Untuk itu perlu upaya mitigasi bencana dan konservasi bumi. Kunci mitigasi dan konservasi adalah partisipasi. Partisipasi akan berjalan jika muncul kesadaran yang didasari pemahaman utuh dari semua kalangan.

Pertama, masyarakat perlu diberi informasi memadai dan dididik tentang potensi kebencanaan dan fenomena kebumian di lingkungannya. Arahannya agar masyarakat bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan serta menjamin keberlanjutan fungsinya. Kedua, pemerintah mesti memperhatikan kebendanaan dan kebumian yang ada dengan program-program riil dalam rangka mitigasi dan konservasi. Ketiga, pendidikan kebencanaan dan kebumian mesti digencarkan secara formal maupun non formal. Kurikulum pendidikan mesti mengakomodasi pendidikan kebumian yang komprehensif. Hal ini dimaskudkan guna mengenalkan pada generasi muda yang akan mewarisi keistimewaan bumi. Keempat, perlu dukungan politis dalam upaya pelestarian keistimewaan bumi Yogyakarta. Butuh komitmen pemimpin, butuh aturan yang memadai, dan butuh fasilitasi yang mencukupi. Semua pihak dan semua sarana mesti melek bumi guna menjamin bertahannya Keistimewaan Bumi Yogyakarta.

Mitigasi dan konservasi membutuhkan aturan yang memadai dan fasilitasi yang mencukupi. Benda-benda cagar budaya telah memiliki payung hukum yang melindunginya. Ke depan perlu menetapkan kebijakan perlindungan pula terhadap obyek cagar ekologis. Peraturan daerah keistimewaan (Perdais) yang diamanatkan UU No 13 Tahun 2012 menjadi wadah hukum yang tepat untuk mengaturnya.

Semua pihak dan semua sarana mesti melek bencana dan melek bumi guna menjamin lestarinya Keistimewaan Bumi Yogyakarta. Keemasan era Kerajaan Mataram bukan tidak mungkin dapat terulang jika keistimewaan bumi Yogyakarta serius dilestarikan.

 

Referensi

BPBD DIY. 2013. Rencana Penanggulangan Bencana DIY 2013-2017. Yogyakarta: BPBD DIY.

Ki Sabdacarakatama. 2009. Sejarah Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Narasi

Koenti, Ishviati Joenaini. 2016. Diskresi dalam Penanggulangan Bencana di DIY dengan Paradigma Kontinjensi. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM No. 3 Vol. 23 Juli 2016: 461 – 485.

Marwito, Tirun. 2004. Kebudayaan Yogya dan Perspektifnya. Makalah disampaikan dalam Dialog Kebudayaan Nasional Kerjasama Pusat Studi Budaya dan Puslit PKLH di Lembaga Penelitian UNY tanggal 8 Desember 2004.

Natawidjaja, Danny Hilman. 2016. Misteri Patahan Sumber Gempa Yogya 2006. Majalah Geomagz, 2016: 25.

Undang-undang RI No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta

Comment (0)