Gunung Papandayan: Dahulu, Kini, dan Nanti
Memiliki sejumlah gunung berapi yang aktif menjadikan Indonesia rawan akan bencana alam yang bisa datang kapanpun. Keberadaan gunung-gunung tersebut merupakan pengaruh dari kondisi geologis Indonesia yang terletak di antara beberapa lempeng bumi. Lempeng bumi yang selalu bergerak menimbulkan tubrukan antarlempeng yang semakin lama memunculkan gunung. Selain itu, Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik yang melewati Indonesia turut memengaruhi. Menurut Geertz (1976: 38 – 41), gunung api aktif banyak berada di Pulau Jawa dan di sekitar gunungnya selalu dipadati pemukiman penduduk sebab menjadi sumber bagi kehidupan.[1]
Berdasarkan catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, terdapat tiga tipe gunung api aktif di Indonesia yang dikelompokkan berdasarkan sejarah letusannya, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Pengelompokan tersebut hanya berdasarkan pernah dan tidaknya gunung api tersebut meletus sejak tahun 1600, sehingga tidak memberi keterangan jelas tentang ancaman bahaya dan karakteristik gunung api (Pratomo, 2006). Walaupun demikian, penggolongan gunung api ini berguna untuk merancang manajemen bencana.
Dalam artikel ini, akan dibahas mengenai salah satu gunung api aktif tipe A di Indonesia, yaitu Gunung Papandayan. Terletak di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Gunung Papandayan ini memiliki tinggi sekitar 2.665 mdpl. Gunung yang termasuk ke dalam gunung api tipe A ini pernah mengalami erupsi setelah tahun 1600, tepatnya pada tahun 1772, 1923, 1942, dan 2002. Beberapa peristiwa tersebut menunjukkan bahwa aktivitas vulkanisme Gunung Papandayan cukup aktif.
Saat Indonesia masih di bawah bayang-bayang kolonialisme Belanda, tepatnya di tahun 1772, Gunung Papandayan mengeluarkan isinya. Hal ini juga tercatat dalam arsip Belanda. Tidak hanya itu, peristiwa ini juga pernah disebutkan oleh Thomas Stamford Raffles dalam buku The History of Java dan dalam buku The Malay Archipelago milik Alfred Russel Wallace. Keduanya sama-sama membahas dampak dari letusan gunung api terhadap kesuburan tanah di sekitar gunung-gunung tersebut.
Laporan mengenai letusan Gunung Papandayan pada tahun 1772 yang ditulis oleh Leupe (1773) dan Hageman (1823) menyebutkan letusan besar terjadi beberap kali dalam waktu 5 menit. Hal itu kemudian disusul dengan runtuhan bagian dari tubuh gunung api ini yang melanda kawasan seluas 250 km².[2] Dampak erupsi Papandayan tahun 1772 menghancurkan 40 kampung dan membentuk danau besar (Wallace, 1890). Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencatat sebanyak 2.951 jiwa menjadi korban akibat runtuhan gunung api yang tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kemudian sekitar tahun 1923, Papandayan kembali mengeluarkan isi perutnya. Taverne (1925) mengatakan bahwa letusan kali ini merupakan seri letusan uap karena setelahnya terbentuk Kawah Baru dan Kawah Nangklak. Setelah saat itu, aktivitas Papandayan sepertinya masih berlanjut, sebab pada tahun 2002 kembali terjadi erupsi. Peristiwa ini diawali oleh letusan freatik pada tanggal 11 November 2002 pukul 16.02, lalu 38 menit setelahnya disusul oleh longsornya dinding bagian utara kawah Nangklak. Sebagai informasi, letusan freatik adalah letusan dengan komposisi air, lumpur, dan gas beracun yang bisa terjadi akibat sesar aktif, gempa hingga gerakan magma ke permukaan.
Imbas dari erupsi pada tahun 2002 di antaranya sekitar 3.349 warga dari 5 desa mengungsi serta terjadi kerusakan berbagai infrastruktur dan beberapa jenis lahan. Status Gunung Papandayan sejak tahun 2002 terbilang fluktuatif, sebab hingga tahun 2012 statusnya adalah siaga. Namun belakangan ini, Gunung Papandayan menjadi destinasi favorit bagi pelancong yang berkunjung ke Garut. Sebetulnya hal ini sudah terbukti sejak masa Karesidenan Priangan. Saat itu Kawah Gunung Papandayan bersama Kawah Gunung Tangkuban Perahu merupakan salah satu destinasi utama.
Jika kita telisik, Gunung Papandayan ini memiliki potensi yang besar dalam sektor pariwisata dan pertanian karena kesuburan tanahnya. Namun perlu kita ingat juga, gunung ini tergolong sebagai gunung api yang cukup aktif. Oleh karena itu, perlu dibuat manajemen bencana, mulai dari langkah preventif, saat tanggap bencana, dan pascabencana. Bencana alam seperti gunung meletus tidak dapat kita cegah dan kita kendalikan, tetapi dengan adanya manajemen bencana dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan.
Sebelum bencana terjadi, pihak berwenang seperti pemerintah dapat melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar daerah rawan bencana jika tidak ada potensi bencana. Penyuluhan yang dimaksudkan bersangkutan dengan edukasi mengenai apa yang harus dilakukan penduduk sekitar. Jika situasi berpotensi terjadi bencana, pemerintah harus segera mengeluarkan peringatan dini dan melakukan mitigasi bencana. Perlu teknologi yang mumpuni agar peringatan dini dikeluarkan dengan cepat dan tepat.
Adapun saat tanggap darurat, dilakukan analisis secara cepat dan tanggap terhadap lokasi bencana, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terimbas, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan terhadap kelompok rentan dan sebagainya. Sedangkan kegiatan yang dilakukan pascabencana dilakukan dengan dua cada, yaitu rehabilitasi dan rekonstruksi. Kegiatan rehabilitasi tersebut di antaranya perbaikan lingkungan daerah bencana, pelayanan kesehatan dan psikologis serta pemulihan dalam sektor ekonomi, dan sosial. Lalu rekonstruksi dilakukan dengan pembangunan kembali sarana dan prasarana dan peningkatan kondisi ekonomi, sosial, serta budaya.
Dengan manajemen bencana yang baik ini, tidak hanya bagi warga sekitar Gunung Papandayan, hal ini dapat dimanfaatkan juga bagi seluruh penduduk di sekitar gunung api aktif di Indonesia. Korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur dapat berkurang. Oleh karena itu, perlu usaha bersama dari masyarakat maupun pemerintah untuk mewujudkannya.
Daftar Pustaka
PRATOMO, I. (2006). Klasifikasi gunung api aktif Indonesia, studi kasus dari beberapa letusan gunung api dalam sejarah. Indonesian Journal on Geoscience, 1(4), 210–213. https://doi.org/10.17014/ijog.vol1no4.20065
Rahman, F. (2019). “Tumbuh setelah Bencana”: Perkembangan Penelitian Botani di Hindia Belanda Sesudah Erupsi Krakatau Tahun 1883. Jurnal Sejarah, 2(2), 15–19. https://doi.org/10.26639/js.v
Ariwibowo, G. A. (2015). Perkembangan Mutakhir Historiografi Indonesia: Orientasi Tema dan Perspektif. Prosiding 3rd Graduate Seminar of History 2015, 155.
Sagala, S. A. H., & Yasaditama, H. I. (2012). Analisis Bahaya dan Resiko Bencana Gunungapi Papandayan (Studi Kasus: Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut). Forum Geografi, 26(1), 2-3. https://doi.org/10.23917/forgeo.v26i1.5046
Sari, C. W. (2016). Manajemen Bencana Pemerintah Kabupaten Garut Studi Kasus: Letusan Gunung Papandayan Tahun 2008. Journal of Politic and Government Studies, 5(3), 3-4. https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jpgs/article/view/12430
[1] Rahman, F. (2019). “Tumbuh setelah Bencana”: Perkembangan Penelitian Botani di Hindia Belanda Sesudah Erupsi Krakatau Tahun 1883. Jurnal Sejarah, 2(2), 15.
[2] PRATOMO, I. (2006). Klasifikasi gunung api aktif Indonesia, studi kasus dari beberapa letusan gunung api dalam sejarah. Indonesian Journal on Geoscience, 1(4), 213