Desa Kembang dan Memori Kolektif tentang Bencana yang Terus Berkembang
Jalan basah memantulkan cahaya surya menjadi pemandangan hangat yang mewarnai perjalanan awal Ekspedisi JawaDwipa di Pacitan. Selasa, 15 November 2022 adalah langkah awal Tim Ekspedisi JawaDwipa menjelajah destinasi pertama, yaitu Desa Kembang, Kecamatan Pacitan. Sesuai namanya, “Kembang” yang berasal dari “Pengembangan”, asal mulanya, dahulu desa ini masuk ke dalam wilayah administratif Desa Sirnoboyo dan kemudian mengalami pemekaran dan perkembangan sehingga disebut Desa Kembang.
Tim Ekspedisi JawaDwipa bertolak dari penginapan menuju Kantor Kepala Desa Kembang. Kemudian berbincang dengan Sahudi, selaku Kepala Desa Kembang. Menurut Sahudi, Desa Kembang memiliki kesiapsiagaan yang sudah baik, sebab banyak lembaga terkait yang melakukan peningkatan kapasitas untuk penanggulangan bencana tsunami yang dimulai sejak tahun 2011.
Desa Kembang sendiri memiliki dokumen lengkap terkait kebencanaan, di antaranya terdapat dokumen kajian risiko bencana, dokumen rencana kontijensi dan banyak lagi dokumen hasil kajian lainnya. Desa ini juga memiliki fasilitas kesiapsiagaan yang baik, mulai dari rambu evakuasi, jalur evakuasi, sistem peringatan dini. Masyarakat mendapatkan edukasi tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana tsunami dan gempa dari berbagai pihak, seperti BPBD, LSM dan NGO. Simulasi evakuasi terkait dengan bencana gempa dan tsunami pun beberapa kali dilakukan oleh warga Desa Kembang.
Meskipun kesiapsiagaan sudah dibangun, namun ada saja masalah yang timbul. Jalur evakuasi dan titik kumpul di Desa Kembang sudah dipetakan dengan baik, tetapi Dusun Bubakan berada di sebelah barat Sungai Grindulu, sementara titik kumpul berada di sebelah Timur sungai. Oleh karenanya masyarakat pun harus melewati jalur evakuasi melintasi sungai dan rute yang cukup memakan waktu sehingga harus mengambil jalan sedikit berputar di Kelurahan Ploso.
Berdasarkan ingatan kolektif masyarakat Desa Kembang, pada tanggal 27-28 November 2017 terjadi banjir besar dan longsor. Bencana ini diakibatkan oleh siklon tropis dan menyebabkan tanggul jebol sehingga air menghantam pemukiman warga, kerugian pun tak terelakkan lagi. Suyono, seorang Petani dan korban banjir kala itu bercerita bahwa ia kehilangan hewan ternaknya pada saat bencana tersebut terjadi. “Pada saat kejadian banjir besar itu, saya kehilangan 12 ekor hewan ternak saya.” ucap Suyono.
Bersebelahan langsung dengan Pantai Selatan Jawa, membuat masyarakat Desa Kembang sering merasakan guncangan gempa bumi. Dari sekian banyak gempa yang dirasakan, sebagian besar berpusat di laut selatan. Gempa merusak yang masih teringat jelas adalah gempa Yogyakarta tahun 2006. Beberapa bangunan juga sempat mengalami kerusakan akibat gempa ini. Berbekal pelatihan kesiapsiagaan, masyarakat sudah mengetahui jika terjadi gempa dengan guncangan yang kuat dan waktu yang lama, maka masyarakat langsung keluar dari rumah mereka.
Masyarakat Desa Kembang juga memiliki ingatan kolektif mengenai tsunami pada tanggal 2 Juni 1994 yang disebabkan gempa dengan magnitudo 7,2. Kala itu, rumah nelayan dan warung-warung di pinggir pantai ikut hancur dihantam tsunami. Pada saat itu warga menyebut kejadian itu dengan kata “rob”, karena belum mengenal istilah “tsunami”, ada pula yang mengatakan dengan istilah “pasang grasa” untuk menyebut gelombang pasang yang tinggi.
Wilayah Pacitan juga tidak terlepas dari isu hoax yang sempat meresahkan masyarakat. Pada tahun 2016, ada sejumlah oknum yang menyebarkan informasi akan terjadi tsunami. merespon hal tersebut maka warga Desa Kembang berbondong-bondong keluar dari rumah untuk menyelamatkan diri. Menurut keterangan warga, isu itu menyebar pada malam hari, tepatnya pukul 21.00 WIB, mereka menyebarkan kabar hoax tersebut dengan berkeliling wilayah pacitan menggunakan mobil. Beberapa jam setelahnya warga yang telah mengamankan diri di wilayah yang lebih tinggi pun diberi tahu bahwa informasi itu adalah kebohongan, kecewa dan kesal sempat dirasakan oleh mereka.
Penjelajahan terus membawa kami menemukan hal-hal menarik. Jika sebelumnya emosi tergugah sebab hoax yang melanda, kali ini Tim Ekspedisi JawaDwipa hanyut dalam lantunan syair yang dilantunkan oleh Suyono, seorang petani yang banyak bergelut di bidang Seni. Di Suryono kami menemukan koleksi berupa naskah yang berjudul “Waosan Tholodho Sholawat Nabi Budoyo Jawi” yang beraksara pegon berbahasa Jawa.
Abdurrahman Heriza sebagai peneliti bidang sejarah menerjemahkan kitab tersebut, kemudian ditemukan pada halaman 21 bait pertama terdapat kalimat ajakan untuk masyarakat agar mencari ilmu supaya diselamatkan dari azab atau bencana. Selanjutnya, pada bait kedua terdapat kalimat ajakan untuk berbuat baik selama hidup di dunia.
Kaki kami terus melangkah, menuntut keinginan yang haus akan penemuan jejak sejarah bencana. Dari kediaman Suryono kami melanjutkan perjalanan dan bertemu seniman pemain karawitan bernama Jamal. Obrolan santai ditemani beberapa cemilan mewarnai setiap informasi yang didapat. Beberapa tradisi masih dilakukan di Desa Kembang, salah satunya adalah tradisi Ingkung. “Setiap malam 1 Suro/Muharam diadakan tradisi Ingkung (seperti tumpeng dengan lauk ikan dan ayam)” ucap Pak Jamal. Ingkung ini dilakukan sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan alam yang subur.
Selain tradisi, Jamal juga menceritakan legenda bahwa nanti di masa depan, Alun-Alun Pacitan akan ambles dan kemudian muncul kereta kencana dengan 16 kuda. Dari cerita legenda yang ada, Tim Ekspedisi JawaDwipa mengunjungi Alun-alun Pacitan untuk mengamati tanah di tempat tersebut. Rheza Marsellino Putra selaku bagian peneliti geofisika mencoba mengkorelasikan legenda tersebut dengan ilmu geologi, Rheza menduga bencana alam di alun-alun tersebut kemungkinan bencana alam likuifaksi.
Begitu banyak tabir yang perlu disingkap. Kearifan Lokal yang dikorelasikan dengan kajian Ilmiah ini tidak henti-hentinya menjadi hal menarik untuk terus dikaji oleh Tim Ekspedisi JawaDwipa. Ingatan kolektif masyarakat serta adat dan budaya dapat dipengaruhi oleh kejadian bencana di masa lalu. Tidak menutup kemungkinan bahwa ingatan kolektif dan juga pengetahuan lokal dapat berkesinambungan dengan ilmu pengetahuan di zaman modern seperti sekarang ini. (Tim Ekspedisi JawaDwipa)