Bencana dalam Memori Kolektif Masyarakat Pesisir Selatan Blitar
Rombongan mobil putih bertulis “Ekspedisi JawaDwipa” melaju cepat di Jalur Lintas Selatan dari Pacitan menuju Blitar. Pagi cerah pada Kamis, 17/11/2022 mewarnai perjalanan tim yang hendak mencari jejak sejarah gempa dan tsunami di wilayah Blitar. Sebelum memenuhi kegiatan dengan penelitian menyusuri jejak bencana, tim ini mengisi perutnya yang sebagian besar dengan nasi pecel ada juga yang memilih nasi rawon. Ketika semua sudah merasakan perut kenyang, maka saatnya menerjang tantangan. Pada hari ini tim melakukan petualangan menuju Desa Tambakrejo, Kec. Wonotirto dan Desa Tumpakkepuh, Kecamatan Bakung.
Jalan berliku menjadi teman perjalanan menuju Desa Tumpakkepuh. Sesampainya di sana, kami mendapatkan cerita mengenai asal usul nama Tumpakkepuh. Yudo, selaku staf Desa Tumpak Kepuh bercerita bahwa asal usul nama desa ini ada beberapa versi. Ada cerita yang mengatakan bahwa kata “kepuh” berasal dari kata “tapakan” sebab dahulu terdapat tapak pohon randu yang merupakan pertanda wilayah zaman kerajaan mataram. Ada juga cerita, nama “Tumpak Kepuh” berasal dari kisah pohon kepuh yang roboh dan menutup sungai. Bila hendak menyeberangi sungai maka harus menaiki pohon kepuh atau dalam bahasa Jawa disebut “tumpakkepuh”. Cerita lainnya mengatakan asal usul tumpak kepuh bermula dari keberadaan pohon ‘randu alas’ yang dahulu dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Kemudian, Yudo mengemukakan bahwa wilayah ini jarang sekali mengalami bencana. Hal ini dikonfirmasi oleh Didik Haryanto selaku sekretaris desa. Selanjutnya didik mengatakan, ingatan masyarakat mengenai tsunami dan gempa pun tidak banyak. Mereka hanya mengingat beberapa kali gempa besar pada tahun 90 an.
Perjalanan kami berlanjut dan bertemu dengan Sutrisno dan Sunarmi. Mereka mengatakan topografi yang tinggi menyebabkan Desa Tumpak Kepuh jarang sekali mengalami banjir dan tsunami. Desa ini hanya mengalami gempa kecil yang pusat gempanya di wilayah lain. Pada tahun 1997/1998 terjadi gempa yang cukup kencang dan dirasakan kuat oleh masyarakat. Inilah yang menyebabkan rumah Sutrisno dan Sunarmi memakai bambu sebagai pengganti besi untuk pondasi rumah karena mereka menganggap lebih terhadap tahan gempa.
Tim Ekspedisi JawaDwipa lainnya bertemu dengan Surani, kepala Desa Tambakrejo. Surani mengatakan dahulu Tambakrejo merupakan hutan di pinggir pantai. Menurut cerita rakyat Desa Tambakrejo, hutan tersebut dibuka oleh dua orang asal Mataram yang bernama Mbah Cunomo dan Mbah Nursari.
Pada tahun 1994 Desa Tambakrejo mengalami dampak dari tsunami akibat gempa yang berpusat di dekat daerah Banyuwangi. Namun, karena jauh dari pusat gempa, desa ini tidak mengalami kerusakan apapun. Hanya saja, terdapat satu orang yang meninggal dunia akibat penyakit jantung karena diperkirakan kaget setelah melihat ombak besar yang datang. Dahulu di desa ini tidak mengenal istilah tsunami, bahkan istilah tsunami baru dikenal masyarakat setempat setelah kejadian tsunami di Aceh tahun 2004.
Masyarakat lokal di Desa Tambakrejo memiliki pengetahuan mengenai ciri-ciri alam terkait pasang surut air laut, prediksi cuaca, yang umumnya dimiliki masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan. Bahkan, masyarakat juga mengetahui tanda-tanda alam terkait dengan peningkatan aktivitas gunungapi, khususnya aktivitas Gunung Kelud. Ciri-ciri ketika Gunung Kelud akan mengalami erupsi, biasanya ditandai dengan berkurangnya pasir di pantai.
Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan mengetahui pasang surut air laut dari pengaruh gravitasi bulan pada waktu tertentu dan menjadi sebuah pedoman untuk melaut. Selain itu komunitas nelayan juga mempercayai rasi bintang yang disebut sebagai lintang luku atau rasi orion sebagai petunjuk arah utara dan selatan.
Bila kita berkunjung ke kantor Desa Tambakrejo, maka kita akan menyaksikan sebuah kentongan besar yang tergantung di halaman kantor tersebut. Masyarakat desa ini masih menggunakan kentongan sebagai alat komunikasi. Kentongan digunakan untuk memberikan informasi bahaya, maling, kebakaran, hingga kabar orang meninggal. Saat ini kentongan di kantor kepala desa masih digunakan, tetapi lebih diperuntukkan memberikan kabar orang meninggal atau disebut sebagai “dodolilit”.
Setiap malam 1 suro, terdapat tradisi yang telah dilakukan sejak jaman dahulu, yaitu membuat tumpeng. Terdapat dua tumpeng yang disajikan, ada tumpeng berwarna kuning emas dari nasi kuning dan ada pula tumpeng kuat dari beras ketan. Tradisi ini juga diharuskan menyembelih kambing kendit. Pada tahun 1974 terdapat mantri polisi yang melihat tradisi tersebut bernama Pak Riyanto dan mengemas kegiatan tersebut menjadi suatu kegiatan rutin di desa yang disebut sebagai “ngelabuh” dengan tumpeng setinggi 1 meter. Menurut masyarakat di desa ini, makna dari tradisi ini adalah untuk mendapatkan perlindungan, keselamatan, serta umur yang panjang.
Surya yang mulai tergelincir menampakan awan yang mulai berangsur-angsur berubah warna menjadi jingga. Perjalanan hari ini sudah dirasa cukup memberikan cerita. Esok akan ada petualangan seru lainnya dan masih di area Blitar. (Tim Ekspedisi JawaDwipa)
Sumber : Disasterchannel.co