...

Kisah Menak Jinggo, Peradaban yang Tertimbun dan Letusan Dahsyat Gunung Raung

30 03 2023 Sejarah Yayasan Skala Indonesia 0 Likes Bagikan :

Dikisahkan, pada zaman dahulu terdapat seorang bernama Dhamarwulan (anak patih Maudara) yang ditugaskan oleh Ratu Kencana Wungu untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh Adipati Menak Jinggo. Sebelumnya, Ratu Kencana Wungu mengadakan sayembara untuk meredam pemberontakan yang dipimpin Kebo Marcowet. Karena sayembara inilah yang menjadi pokok persoalan antara Majapahit dan Blambangan. Pada waktu itu, Ratu Kencana Wungu menjanjikan bahwa barangsiapa dapat menumpas Kebo Marcowet, ia akan diangkat menjadi raja Majapahit dan sekaligus menjadi suaminya. Namun, setelah Jaka Umbaran berhasil membunuh Kebo Marcowet, janji itu tidak pernah ditepati. Jaka Umbaran akhirnya hanya dihadiahi wilayah Blambangan dan diangkat menjadi Adipati Blambangan dan diberi gelar Menak Jingga atau Wuru Bisma, karena hal inilah pemberontakan di mulai (Sasangka, 2016).

Jejak bencana letusan Gunung Raung terdapat pula dalam mitos yang beredar antar warga Desa Gunosari, Kecamatan Tlogosari, Kabupaten Bondowoso, mereka mengartikan lahar dari letusan Gunung Raung sebagai aliran darah akibat pertempuran Damarwulan dan Menak Jinggo. Mitos mengenai aliran lava yang dianalogikan sebagai cucuran darah Dhamarwulan melawan Menak Jingga tumbuh di kalangan masyarakat Desa Gunosari. Mitos ini menjadi kepercayaan ketika berbaur dengan pengalaman generasi sebelumnya pada letusan Raung tahun 1956. Mitos-mitos yang beredar di masyarakat secara teoritis diekspresikan sebagai perasaan bawah sadar manusia, kemudian dirasakan bersama oleh masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi. Mitos selalu menjadi konsumsi penting untuk menjaga lingkungan sosial dan lingkungan alam di sekitar mereka (Purnomo, 2019). 

Alas Sumur adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan.  Pujer, Kabupaten Bondowoso. Di desa ini telah ditemukan susunan bata yang diperkirakan dari abad 14 yang tertimbun sedalam 5-7 meter. Dilansir dari laman Kemendikbud.go.id, situs Alas Sumur adalah sebuah objek diduga cagar budaya yang merupakan sebuah situs peradaban peninggalan masa Majapahit yang berasal dari abad ke-14 Masehi. Diperkirakan bahwa peradaban kuno tersebut terkubur oleh bencana alam erupsi Gunung Raung yang terjadi pada abad ke-14. Situs tersebut diperkirakan memiliki luas kurang lebih sekitar 2,2 hektar berdasarkan hasil geolistrik oleh tim dari ITS Surabaya. 

Jarak antara Desa Alas Sumur dan puncak Gunung Raung bila ditarik dengan garis lurus sekitar 24 km. pada jarak tersebut terdapat susunan bata yang diduga merupakan pemukiman pada masanya yang terkubur sedalam 5-7 meter. Susunan batu bata ini ditemukan setelah menggali lapisan batuan breksi di atasnya.

Gambar 1. Batu bata yang didapati warga Desa Alas Sumur ketika membuat sumur air tanah

Bahaya primer dari letusan Gunung Raung adalah bahaya akibat langsung dari letusan seperti luncuran awan panas dan lontaran piroklastik. Berdasarkan sejarah kegiatannya periode erupsi terpendek antara 2 letusan adalah 1 tahun dan terpanjang 90 tahun. Badan geologi menyebutkan sejarah letusan Gunung Raung yang pertama kali diketahui terjadi pada tahun 1586, berupa letusan dahsyat melanda beberapa daerah dan terdapat korban manusia. Terjadi letusan dahsyat dan diketahui adanya korban manusia.  

Pada tanggal 17 Januari 1597 Lodewijcksz (kartografer), dari pantai Jawa Timur di atas Panarucam (Panarukan) melihat sebuah gunung berapi mengeluarkan gumpalan asap gelap. Gunung tersebut juga terlihat berasap dari Varkenshoek (pantai selatan Pulau Bali) pada tanggal 2 Februari, gunungapi aktif ini dipastikan adalah Gunung Raung. Lodewijcksz menulis lebih lanjut bahwa letusan dahsyat gunung berapi ini pada tahun 1586 telah menewaskan 10.000 orang. Awan abu tebal terlempar sedemikian rupa sehingga siang berubah menjadi malam selama tiga hari (Neumann van Padang, 1983). Letusan Gunung Raung pada tahun 1586 dan 1597 adalah letusan yang maha dahsyat, selain menewaskan ribuan orang, tetapi juga menyebabkan dinding kawah purba gunung tersebut runtuh. Konon kabarnya kala itu, material letusan Gunung Raung dengan mudahnya dapat menjangkau Laut Jawa, Samudra Hindia dan Pulau Bali. (Asrijanto) 

Gunung Raung kembali melakukan aktivitasnya 1638. Terjadi letusan dahsyat, kemudian diikuti dengan banjir besar dan aliran lahar yang melanda daerah antara K. Stail dan K. Klatak. Korban manusia mencapai ribuan orang. Bahkan letusan Gunung Raung yang terjadi pada tahun 1638, membuat terganggunya kondisi iklim di Asia Timur, setahun setelah letusan itu terjadi (Atwell, 2001).

Catatan aktivitas Gunung Raung teramati kembali, berdasarkan data dari Badan Geologi, pada tahun 1730 terjadi letusan abu, bersamaan dengan datangnya lahar yang melanda wilayah yang cukup luas, dilaporkan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Pada tahun 1787 – 1799, terjadi letusan pada waktu pemerintah Residen Harris dan tidak diketahui adanya keterangan lebih lanjut mengenai peristiwa ini. pada tahun 1800 – 1808, terjadi letusan pada waktu pemerintahan Residen Malleod, namun tidak diketahui adanya keterangan lebih lanjut. Pada tahun 1812 – 1814 terjadi letusan disertai suara gemuruh dan hujan abu. Pada tahun 1815, terjadi hujan abu di Besuki dan Probolinggo di antara tanggal 4 – 12 April. Neumann van Padang (1951) menyangsikan terjadinya letusan tersebut, diduga hujan abu ini berasal dari letusan Gunung Tambora di Sumbawa.

Junghuhn (1853) mendaki Gunung Rawon (Raung?), begitu dia menyebut gunung berapi pada bulan Oktober 1844. Ia tidak mengetahui adanya letusan, yang berarti bahwa semburan yang disebutkan oleh Lodewijcksz sebelumnya tidak diketahui atau sudah dilupakan pada masanya. Namun Junghuhn berpendapat bahwa letusan besar pasti terjadi di salah satu abad terakhir. Verbeek dan Fennema (1896) menyebutkan dua bibir kawah yang runtuh dan tererosi sebagian, di sebelah barat kawah besar Raung, dengan diameter 3480 m dan 3000 m. Menurut pemetaan Topografische Dienst (Ordnance Survey), kawah berbentuk oval itu memiliki diameter 2.280 m arah NW-SE dan 1.760 m tegak lurus terhadapnya. Brouwer (1915, p. 58) mengira kawah sedalam 600 m berasal dari keruntuhan. Brouwer (1914. 1915, hlm. 60-65) menggambarkan tujuh letusan, yaitu 1597, 1638, 1730, antara 1787 dan 1799, antara 1800 dan 1808, 1815/ 1816, dan 1849, semuanya disebutkan oleh Bosch (1858). Brouwer juga menyebutkan letusan tahun 1864, 1881, 1896/97, 1902, 1903/04, dan 1913. Pada tahun 1913, ôone setinggi 100 m terbentuk di dasar kawah besar. (Neumann van Padang, 1983).

Gambar 2. Temuan batu bata pada abad 14 di area persawahan Desa Jebung Kidul Kecamatan Tlogosari, Kabupaten Bondowoso

Sama halnya dengan temuan di Desa Alas Sumur, di Desa Jebung Kidul, Kecamatan. Tlogosari juga ditemukan susunan batu bata yang serupa. Pada tahun 2021, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten (Disdikbud), melakukan ekskavasi penemuan yang berlokasi di Desa Jebung Kidul. Temuan batu bata bercorak ini memiliki bentuk fisik yang sama dengan batu bata yang ada pada masa kerajaan Majapahit. Oleh karenanya, diduga bahwa batu bata ini berasal dari zaman kerajaan Majapahit. 

Berdasarkan Peta Kawasan Risiko Bencana (KRB) Gunung Raung, Desa Alas Sumur berada pada Zona KRB I. Desa Tersebut Rawan Terhadap Aliran Massa berupa lahar dingin. Aliran massa tersebut sebagian besar terjadi di daerah barat laut, barat daya, selatan, dan tenggara Gunung Raung. Desa Alas Sumur dan Jebung Kidul berada di sisi barat laut Gunung Raung. Terdapat beberapa sungai yang dapat membawa lahar ke arah barat laut Gunung Raung, seperti Kali Sampoan, Kali Sumberwringin, Kali Tlogo, dan Kali Belud. Kali Sampoan yang mengalir ke melalui Desa Alas Sumur dapat membawa lahar sampai ke Desa tersebut. Sedangkan untuk Desa Jebung Kidul, diapit oleh dua sungai yang memiliki hulu di kaki Gunung Raung, yaitu Kali Tlogo dan Kali Belud. Sungai tersebut dapat membawa aliran lahar hingga ke Desa Jebung Kidul.

Gambar 3. Peta Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Raung
Gambar 4. Lokasi Desa Jebung Kidul dan Desa Alas Sumur Berdasarkan Peta KRB Gunung Raung

Sangat disayangkan ekskavasi situs diduga cagar budaya di Desa Alas Sumur dan juga Desa Jebung tidak dituntaskan. Oleh sebab itu, sampai saat ini belum diketahui bentuk bangunan seperti apa yang terkubur dan peristiwa seperti apa yang bisa mengubur peradaban kala itu. Perlu adanya ekskavasi lanjutan dan kolaborasi multi disiplin ilmu untuk mengungkap kejadian sejarah yang pernah terjadi di tempat ini.

Semua cerita ini berasal dari perjalanan Ekspedisi JawaDwipa yang dilakukan oleh 10 pemuda dengan latar keilmuan yang berbeda. Ekspedisi JawaDwipa adalah kegiatan menyusuri jejak sejarah bencana di Pulau Jawa yang diinisiasi oleh Yayasan Skala Indonesia. Kegiatan ini didukung oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Pemerintah Australia melalui program SIAP SIAGA (Tim Ekspedisis JawaDwipa)

Comment (0)