Jejak Gempa di Gereja Tua Surabaya
Jalan-jalan ke Surabaya tidak lengkap jika tidak mencicipi kulinernya yang begitu melimpah. Rujak cingur, tahu campur dan rawon, semua begitu nikmat disantap di bawah terik sinar matahari yang memenuhi kota ini. Selain kulinernya yang menggiurkan lidah, Surabaya juga banyak memiliki destinasi wisata bersejarah, seperti Tugu Pahlawan, Museum 10 November, Jembatan Merah dan Gedung Internatio (Internationale Kredieten Handelsvereeniging).
Rasanya sudah sangat biasa kalau kita berwisata di Surabaya hanya mengunjungi tempat yang itu-itu saja. Namun berbeda dengan perjalanan tim Ekspedisi JawaDwipa, mereka datang ke Kota Pahlawan untuk mengunjungi jejak gempa masa lalu. Ekspedisi JawaDwipa merupakan sebuah perjalanan menyusuri jejak sejarah gempa di masa lalu. Program ini didukung oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Pemerintahan Australia melalui program Siap Siaga.
Bila kita lihat Kota Surabaya saat ini begitu besar dan penuh dengan hingar-bingar kehidupan ibukota, tak berbeda jauh dengan Jakarta. Siapa sangka daerah ini pernah diguncang gempa yang merusak beberapa bangunan. Salah satu bangunan yang rusak akibat gempa masa lalu adalah Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria. Gedung gereja berlokasi di Jalan Kepanjen, Kecamatan Krembangan, Surabaya. Gereja ini merupakan Gereja tertua di Jawa Timur.
Berdasarkan catatan yang dimiliki oleh gereja, gedung gereja ini dibangun pada tahun 1899. Gedung gereja saat ini yang berada di Jalan Kepanjen, sebenarnya merupakan bangunan gereja kedua. Sebelumnya Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria dibangun pada tahun 1822 di tikungan Roomsche Kerkstraat atau kini disebut sebagai Jalan Merak. Gedung gereja pertama beroperasi selama 78 tahun dan sudah mulai mengalami kerusakan hingga akhirnya dibangun gereja baru yang terus beroperasi hingga saat ini.
Gambar 1. Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria
Berdasarkan catatan oleh Van Laar (1867) Gedung gereja mengalami keretakan dinding akibat gempabumi pada 10 Juni 1867 yang berpusat di Yogyakarta. Gempa tersebut berpusat di Yogyakarta tetapi dampaknya dapat dirasakan hampir di seluruh Jawa. Van Laar (1867) Menyebutkan bahwa daerah terdampak oleh gempa ini di antaranya Banten, Jakarta, Bogor, Karawang, Sukabumi, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Magelang, Purworejo, Banyumas, Surakarta, Madiun, Pacitan, Kediri, Jepara, Rembang, Surabaya, Pacitan, Pasuruan, hingga ke Bali.
Gempa tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas subduksi pada zona Benioff atau disebut sebagai gempa intraslab karena memiliki penyebaran kerusakan yang meluas (Nguyen et al., 2015). Faktor amplifikasi juga dapat dikaitkan dengan perluasan gelombang gempa ini. Faktor amplifikasi adalah perbesaran gelombang gempa akibat keberadaan lapisan tanah lunak. Faktor amplifikasi berhubungan dengan tingkat kepadatan batuan, dimana berkurangnya kepadatan batuan akan meningkatkan faktor amplifikasi (Rezaei and Choobbasti, 2017).
Catatan yang ada memberitahukan kita bahwa wilayah Surabaya yang jaraknya cukup jauh dengan pusat gempa di selatan Jawa, tetap mengalami dampak gempa. Letak geografis bukanlah satu-satunya faktor yang dapat menjadi penilaian bahwa satu wilayah dapat terbebas dari ancaman bencana gempa.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efek dari gempa, salah satunya adalah amplifikasi yang merupakan fenomena perbesaran gelombang gempa karena disebabkan keberadaan tanah yang lunak. Faktor amplifikasi ini juga sangatlah berkaitan erat dengan tingkat kepadatan batuan, dimana kepadatan batuan yang ada dapat memperbesar faktor amplifikasi. Kondisi wilayah Kota Surabaya yang terletak di wilayah pesisir dan dekat dengan aliran sungai turut mengindikasikan bahwa tanah Kota Surabaya bertanah Lunak. Sehingga faktor amplifikasi yang dijelaskan diatas dapat berpotensi terjadi dan memperbesar gelombang gempabumi.
Kota terbesar kedua di Indonesia ini, kini begitu megah berdiri. Namun, sejarah gempa di masa lalu memberikan peringatan bahwa daerah ini memiliki ancaman bencana. Hasil analisis kajian potensi bencana Kota Surabaya mencatat setidaknya terdapat 7 jenis ancaman bencana berkelas sedang hingga tinggi yang berpotensi selama kurun waktu 2019-2023. Dimana kekeringan dan gempabumi merupakan jenis bencana yang memiliki persentase kelas bahaya yang paling tinggi.
Rasa manis, pedas, asin dan gurih dari rujak cingur menutup perjalanan mencari jejak sejarah gempa di wilayah Jawa Timur. Banyaknya kejadian gempa yang terjadi di masa lalu seolah menjadi pertanda agar kita lebih waspada. (Tim Ekspedisi JawaDwipa).