...

GEMPA PADANG PANJANG 28 JUNI 1926 DALAM SURAT KABAR KOLONIAL

08 04 2023 Bencana Sonya Dewi 1 Likes Bagikan :

Oleh Tim Pokja Literasi Mitigasi Kebencanaan Bukittinggi
 

Sumatera Barat yang merupakan bagian dari cincin api yang dikelilingi gunung-gunung vulkanik aktif serta berada pada lempeng Eurasia dan Indo-Astraulia serta patahan sesar  yang dikenal  dengan patahan Semangko, sehingga rawan terjadi gempa bumi. Kita tentu masih ingat pada tahun 2009 gempa dahsyat memporak-porandakan Sumatera Barat dengan korban jiwa sekitar 1.117 orang. Gempa tersebut meninggalkan kesan mendalam bagi masyarakat Sumatera Barat. Namun gempa bumi dengan kekuatan besar yang melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut bukan pertama kali terjadi. Gempa bumi yang cukup besar pernah terjadi di Sumatera Barat pada Senin, 28 Juni 1926 dengan titik pusat Padang Panjang. Saking besarnya, gempa yang terjadi pada pukul sepuluh dan pukul dua siang tersebut berhasil meluluhlantakkan Padang Panjang dan sekitarnya, sebagaimana ditulis koran Nieuwe Haarlemscheterbitan 30 Juni 1926 dengan headline "Gempa di Sumatera: Padang Panjang Hampir Hancur".

Gempa bumi yang menimbulkan tsunami Danau Singkarak serta longsor diberbagai wilayah ini menghancurkan banyak bangunan penting sekaligus memakan banyak korban. Sekitar 354 orang diketahui meninggal dalam bencana tersebut dan ada ribuan korban luka-luka. Menurut laporan koran Deli (29/6/1926), stasiun, kantor pos, sekolah, apotek, dan sebagian besar kamp Tionghoa telah runtuh, begitupun dengan bangunan di sepanjang jalan Koto Baru dan Padang Panjang. Sementara semua bangunan militer di Padang Panjang rusak bahkan Rumah Sakit militer ikut runtuh. Tak hanya bangunan, gempa tersebut juga merusak jalur transportasi dan komunikasi. Jembatan kereta api di Kandang Ampat, Lembah Anai dan Padang Luar rusak berat, begitupun dengan tiang-tiang telegraf. Akibatnya akses transportasi dan komunikasi terhambat. Dengan terputusnya sambungan telegraf antara Padang Panjang dengan Padang, pada saat kejadian pemerintah tidak mengetahui tentang detail peristiwa, kerusakan maupun jumlah korban akibat gempa tersebut. Kabar mengenai bencana yang terjadi di Padang Panjang diketahui dari seorang Tionghoa dan tentara yang diutus untuk menyampaikan pesan ke Padang. Utusan tersebut baru sampai di Padang pada pukul sembilan malam dengan kondisi terluka. Mereka menyampaikan bahwa Padang Panjang dalam keadaan hancur dan membutuhkan bantuan.

Polisi dan dokter baru sampai di Padang Panjang pada hari Selasa (29/6) dikarenakan akses lalu lintas yang rusak parah. Begitupun dengan Pangdam dan Residen yang segera berangkat pada pagi Selasa setelah mendapat kabar dari utusan tersebut. Meskipun untuk sampai ke Padang Panjang bukanlah hal yang mudah, sebab akses lalu lintas dari Padang menuju Padang Panjang maupun Fort de Kock menuju Padang Panjang telah rusak total.

Sesampainya mereka di Padang Panjang pemandangan pertama yang disaksikan ialah bangunan runtuh dimana-mana. Korban meninggal dan terluka segera dievakuasi. Masyarakat yang selamat memilih untuk mendirikan tenda di Pasar. Hal ini dikarenakan daerah pasar cukup luas dan relatif aman, sebab gempa susulan masih sering dirasakan dengan guncangan yang cukup kuat.

 

Tak hanya di Padang Panjang, gempa yang diperkirakan terjadi karena aktivitas gunung Talang tersebut ternyata juga menghancurkan beberapa daerah lainnya seperti Padang, Fort de Kock, Singkarak, Cupak, Lembah Anai, Solok, Alahan Panjang, Pariaman, Maninjau, hingga ke Payakumbuh. Bahkan getarannya sampai ke daerah Muara Labuh, Jambi, dan Bengkulu. Meskipun daerah yang paling terdampak ialah Padang Panjang, Solok dan sebagian Fort de Kock, dimana 27 orang tewas ditarik dari bawah reruntuhan di Singakarak, 1 di Andalas, 2 di Padang Lawas, 3 di Batu Taba, 6 di Batipuh Baruh dan 15 Guguk. Di negari terakhir, para korban, termasuk 14 anak, diseret ke Danau Singkarak oleh air yang naik dan tenggelam. Di Kecamatan Sumpur, 674 rumah roboh atau rusak berat dan lebih banyak lagi di Padang Panjang dan Solok.   

Gempa ini agaknya memberikan efek trauma cukup besar bagi masyarakat, sebab hingga bulan Maret tahun 1927 sebagian besar masyarakat masih tetap berada di tenda masing-masing, meskipun pemerintah telah merekonstruksi rumah-rumah masyarakat dan bangunan-bangunan penting lainnya pada tahun 1926 dan 1927 dengan anggaran dana sebesar f 126.500. Proses rekonstruksi dan pemulihan dapat berjalan lancar karena bantuan dari berbagai pihak yang berkontribusi dalam penggalangan dana, baik pemerintah Hindia-Belanda, Volksrad, maupun Pemerintah Belanda dan pihak Gereja di Eropa. Selain itu juga sumbangan dari berbagai perkumpulan di Sumtera serta daerah lain dan berdasarkan iklan yang dimuat di beberapa koran seperti Sumatera Bode dan Koran Deli.

Pemerintah Hindia-Belanda juga memberikan penghargaan khusus kepada guru, tentara dan pemerintah daerah setempat yang telah berjasa dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat selama dan setelah bencana terjadi. Penghargaan tersebut diantaranya diberikan kepada: Ch. F. W. Slijper, Direktur Sekolah Asisten Guru Pribumi di Padang Panjang, J. M. J. Morsink, Pengawas di B.B., J.F.M. van der Linden; Letnan Gubernur B.B., H. Dubourcq, Kapten Infanteri; J. Plazier, Letnan Satu Infanteri; P. Hofman, Wakil Letnan Infanteri; A.J. Jopse, sersan infanteri; J.G. Eikelhoff, Eur., Sersan Infanteri; dan Soekatma yang merupakan Drummer Infanteri asal Sunda, serta Moh. Thaib Gelar Soetan Bandaharo, Camat X Koto, Abdul Aziz Gelar Datoe Oempang Sajap, pemimpin di P.T.T. dan Rasad Gelar Mangkoeto Soetan, asisten mandoer telegraf di Sumatera Barat.

Sumber Foto:  Nieuwe Apeldoornsche Courant, 6 Agustus 1926

Comment (0)