https://statistik.anambaskab.go.id/slot-gacor/

Literasi Arsip Kebencanaan Indonesia

Artikel

Latest News

BANJIR DI DATARAN TINGGI MINANGKABAU

Oleh Tim Pokja Literasi Mitigasi Kebencanaan Bukittinggi

“… pado maso babalun-balun. Urang balun pinang pun balun. Samaso tanah ameh ko sabingkah jo simananjuang. Kok gunuang baru sabingkah batu. Tanah darek balun lai leba. Lah timbua Gunuang Marapi. Bumi basintak naiak, lauik basintak turun. Kapa sedang dilamun ombak, nampaklah Gunung Marapi nan sagadang talua itiak …”

 

Kaba, sebuah tradisi lisan orang Minangkabau yang diwariskan secara turun-temurun kerap didendangkan oleh Tukang Kaba dalam berbagai kesempatan hingga hari ini. Banyak berita dan cerita yang dikabarkan oleh Tukang Kaba melalui kidung, nyanyian, senandung yang diiringi oleh alat musik seperti rabab dan saluang. Misalnya seperti cerita mengenai asal-usul orang Minangkabau, seperti yang tertulis pada cuplikan kaba di atas. Berdasarkan kaba tersebut, orang Minangkabau mengamini bahwa kedatangan mereka ke tanah Minangkabau ini merupakan ujung dari sebuah pelayaran akibat banjir yang dahsyat. Bersama-sama di atas kapal mereka menunggu banjir surut, dan setelahnya menemukan puncak gunung Marapi. Pelayaran mereka berhenti di lereng gunung tersebut, sebuah desa indah yang bernama Desa Pariangan. Dari sini kemudian sejarah orang Minangkabau bermula.

 

Hal yang menarik dari kaba tersebut bukanlah mengenai asal-usul orang Minangkabau, namun dari perjalanan mereka hingga sampai di tanah Minangkabau. Begitu sulit melogikakan wilayah sekitaran gunung Marapi yang berada di dataran tinggi atau kerap disebut Padangsche Bovenlanden pada masa kolonial, pernah dihantam banjir yang sangat besar, hingga gunung Marapi saja tenggelam. Deretan pegunungan yang bernama Bukit Barisan, topografi daerah yang merupakan wilayah ketinggian, membuat narasi tersebut mustahil bisa dipercayai. Namun, sejarah mencatat bahwa di dataran tinggi Minangkabau, banjir bukanlah hal asing dan baru. Sejak abad ke-19, orang Belanda bahkan melaporkan peristiwa bencana banjir yang melanda wilayah dataran tinggi itu.

 

Surat Kabar Bataviaasch Handelsblad pada tanggal 29 Aril tahun 1875 memberitakan bahwa di daerah Tanah Datar atau Fort van Der Capellen telah terjadi banjir besar yang menyebabkan beberapa orang meninggal terseret banjir. Beberapa gudang pengumpulan kopi juga ikut digenangi banjir dan menyebabkan lebih dari 50 pikul kopi hanyut terbawa banjir. Banyak kerugian yang ditimbulkan oleh banjir tersebut. Tiga dekade kemudian, pada tahun 1904 hingga tahun 1906, banjir besar kembali menghantam wilayah dataran tinggi Minangkabau. Kali ini wilayah Padang Panjang, Lembah Anai dan sekitarnya dilanda banjir bandang. Selama tiga tahun itu terjadi 6 kali banjir besar di lokasi yang sama. Pada waktu itu, Pemerintah Belanda tengah membangun jalur kereta api dari Ombilin menuju Padang, yang melewati wilayah Padang Panjang, Lembah Anai dan Kayu Tanam, yang menjadi titik utama banjir bandang. Akibatnya rel kereta api yang tengah dibangun itu hanyut terbawa banjir. Total terdapat kerusakan pembangunan jalur kereta api di 20 titik yang terbentang dari wilayah Padang Panjang, Lembah Anai, hingga Kayu Tanam. Kerugian Belanda saat itu sangat besar. Biaya pembangunan jalur kereta api yang semula diperkirakan sebesar f 8 juta, ternyata membengkak menjadi lebih f14 juta. Hal ini disebabkan karena persoalan pembebasan lahan, dan juga hantaman banjir bandang yang menghanyutkan sebagian besar rel kereta yang tengah dibangun ataupun yang telah terpasang.

 

 

 

Pada tahun 1929, Surat Kabar Nieuwsblad van het Noorden edisi 10 Mei 1929 memberitakan banjir yang melanda wilayah Lubuk Basung, Talu, dan sekitarnya. Tiga orang tewas tenggelam dalam banjir tersebut. Jembatan, rumah dan sawah juga hancur diterjang banjir. Beberapa tahun kemudian, pada 16 Maret 1936, terjadi banjir besar di Fort van der Capellen atau Tanah Datar dan wilayah sekitarnya. Pada laporan surat kabar Zutphensche Courant tanggal 19 Maret 1936, banjir tersebut terjadi akibat meluapnya sungai Djamboo yang melintasi pemukiman penduduk di wilayah Tanah Datar. Akibatnya beberapa orang tenggelam, rumah, masjid, jembatan dan persawahan hancur. Diperkirakan bahwa banjir ini merupakan banjir terbesar sejak 100 tahun terakhir. Dua tahun setelahnya, wilayah giliran Kayu Tanam kembali dilanda banjir besar. Surat kabar De Volkskrant edisi 28 Desember 1938 menarasikan banjir besar yang menghantam wilayah Kayu Tanam. Tidak ada korban jiwa dalam banjir tersebut, namun beberapa rumah hanyut terbawa arus, dan juga terendam banjir hingga tidak dapat ditempati untuk sementara waktu.

 

Pada tahun1952, Surat Kabar Priangerbode edisi 17 November 1952 juga mengabarkan banjir di daerah Tanah Datar. Rumah, mushala, sekolah dan juga area persawahan direndam banjir, sehingga menyebabkan gagal panen. Dalam peristiwa tersebut juga memakan korban jiwa. Seorang wanita bersama empat anaknya diseret banjir pada saat menyeberangi sungai. Tidak ada keterangan apakah satu keluarga itu selamat atau tidak. Namun kerugian akibat banjir tersebut cukup besar.

 

Masih banyak narasi yang muncul di dalam sejarah bencana di dataran tinggi Minangkabau, terutama bencana banjir. Agaknya, sejak masa purba ketika legenda sejarah orang Minangkabau bermula, wilayah dataran tinggi Minangkabau telah menjadi langganan banjir besar. bahkan yang terbesar, konon katanya sampai menenggelamkan gunung Marapi yang tingginya hampir 3000 meter di atas permukaan laut.

 

Sumber foto: Koleksi Digital KITLV

Tulis Komentar

Comments (0)

Tulis Komentar